Jakarta, Kominfo – Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika, Mira Tayyiba menyatakan Pemerintah telah mengambil langkah kebijakan agar penggunaan teknologi internet aman dan produktif bagi masyarakat. Menurutnya, beragam kebijakan untuk menjamin ruang digital aman itu diambil berdasarkan Perundang-undangan yang berlaku.

“Kami telah mengambil pendekatan holistik dari mekanisme hulu serta hilir untuk menangani hoaks dan ujaran kebencian di ruang digital,” ujarnya dalam Webinar bertajuk “Social Media for Peace: Countering Online Disinformation and Hate Speech to Foster Peace”, dari Jakarta, Rabu (23/06/2021).

Sekjen Mira memamparkan, di tingkat hulu, Kementerian Kominfo menggarisbawahi pentingnya komunikasi yang efektif sebagai upaya pencegahan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Pada catatan ini, kami telah mengatur penyebaran besar-besaran materi komunikasi publik yang berfungsi sebagai sumber informasi yang tepercaya dan dapat diandalkan.

“Di tingkat menengah, kami berkolaborasi dengan masyarakat sipil, media dan pers, untuk bersama-sama menagkal hoaks dan mengeluarkan klarifikasi. Sejak Agustus 2018 hingga Juni 2021, Direktorat Pengendalian Ditjen Aptika telah menemukenali 8.499 isu kabar bohong yang tersebar di internet,” paparnya.

Sekjen Kementerian Kominfo menjelaskan dari semua penyebaran informasi palsu ke publik itu, telah ditindaklanjuti dan diklarifikasi dengan sumber-sumber terpercaya. Bahkan, pihaknya bekerja sama dengan platform digital dan kementerian lembaga terkait lainnya untuk menghapus konten berbahaya di ruang digital.

“Di tingkat hilir, kami bekerja sama dengan penegak hukum untuk melakukan kegiatan penegakan hukum kepada para tersangka yang telah membuat dan menyebarkan hoaks kepada masyarakat,” jelasnya.

Sekjen Kementerian Kominfo menyatakan, proses tersebut dilakukan secara hati-hati dengan dasar analisis yang mendalam dan investigasi yang komprehensif. Selain itu, upaya lain yang terus dilakukan Pemerintah adalah dengan menerapkan komunikasi publik yang saling melengkapi dan efektif sebagai kontra-narasi terhadap hoaks yang beredar.

Sekjen Mira menyatakan sebagai wujud nyata memerangi kekacauan informasi dan ujaran kebencian, Pemerintah Indonesia menerapkan beragam kebijakan aktif untuk menyikapi tantangan tersebut. “Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-Undang ITE yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016,” jelasnya.

Kolaborasi

Indonesia saat ini tidak hanya menghadapi pandemi virus Covid-19 tetapi juga sedang melawan wabah infodemi. Menurutnya, fenomena itu banyak bermunculan di media sosial, seperti Facebook, Instagram, Youtube dan Twitter seiring dengan semakin tingginya penggunaan internet di tengah masyarakat. 

Mengutip laporan dari GlobalWeb Index tahun 2020, Sekjen Kementerian Kominfo menyebutkan partisipasi pengguna intrnet di Indonesia rata-rata menghabiskan 3 jam 14 menit setiap harinya di media sosial.

Dengan kondisi tersebut, Sekjen Mira menyatakan hal itu  dapat menimbulkan  potensi efek berbahaya dari internet, termasuk ujaran kebencian, dan gangguan informasi seperti disinformasi, misinformasi, dan malinformasi. Kesemuanya populer dengan sebutan hoaks.

“Hal ini dikarenakan partisipasi pesan di media sosial membuat semua orang untuk bisa terhubung dan memperluas jaringan mereka dan dapat menimbulkan penyebaran hoaks serta ujaran kebencian yang mengancam kedaulatan kita sebagai bangsa, tidak hanya dalam praktik online tetapi sering juga dalam praktik offline,” tuturnya.

Menyoal tuntutan masyarakat untuk merevisi UU ITE, Sekjen Kementerian mengatakan Pemerintah telah membentuk tim untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak terkait pasal-pasal yang perlu diubah, Bahkan, menurutnya, Pemerintah telah menyiapkan rancangan amandemen dan pedoman pelaksanaan UU ITE dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik pada sektor privat. “Sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 10 Tahun 2021,” jelasnya.

Ke depan, Pemerintah Indonesia meminta semua pemangku kepentingan terkait untuk bahu-membahu mengatasi risiko gangguan informasi dan ujaran kebencian. Sekjen Mira menilai hal ini diperlukan agar setiap pemangku kepentingan memiliki andilnya masing-masing untuk memastikan ruang digital yang aman dan damai bagi bangsa Indonesia.

“Melalui upaya kolaboratif, kita dapat memanfaatkan agenda transformasi digital Indonesia untuk Indonesia yang lebih baik dan pada akhirnya bergerak menuju masyarakat digital yang inklusif dan kuat,” tandas Sekjen Kementerian Kominfo.

Hadir dalam acara Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, H.E. Vincent Piket; Direktur Kebijakan Publik dan Kedermawaan Twitter Indonesia dan Malaysia, Agung Yudha; Executive Chairman Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Arief Rachman; Officer in Charge UNESCO Office di Jakarta, Hans D. Thulstrup, Presidium Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (MAFINDO), Anita A. Wahid; Kepala Pengembangan Organisasi  Press Council Indonesia, Asep Setiawan; serta  Dosen universitas Gajah Mada sekaligus Koordinator dari JAPELDI, Novi Kurnia.